Minggu, 02 Januari 2011

Berhijab

kerika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya bahwa allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui daripada dirinya sementara dia sangat miskin dan sangt lemah- maka jika telah datang perintah dari allah, tidak ada lain pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut. ketika mendengar perintah allah, sebagai seorang mukmin dan mukminah, mereka wajiban sebagainama yang dikatakan orang-orang yang beriman. "kami dengar dan kami taat (mereka berdoa) Ampunilah kami ya tuhan kami dan kepada engkau tempat kembali.."(al-baqarah : 285)
kerika allah memetintahkan kita dengan suatu perintah , dia maha mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita, dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan kita. demikian pula halnya dengan ketika memetintahwanita untuk berhijab, dia maha mengetahui bahwa itu adalah salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.
ketika seorang wanita di perintahkan untuk berhijab dan bertakwa kepada allah mereka berkata " saya selalu meleksanakan shalat, dan saya berbuat baik kepada semua orang, saya tidak melakukan dosa yang besar, tidak mencuri dan saya selalu patuh dengan orang tua, saya selalu membaca Al-qur'an setiap hari. namun kalau masalah berjilbab saya tidak biasa karena saya merasa belum siap, saya malu jika terlihat selalu berjilbab, jika dirumah saya tidak berjilbab dan bepergian jauh baru berjilbab"
sebenarnya jika seseorang yang benar2 beriman jika datang kepada dia perintah atau peringatan mereka akan langsung patuh tanpa menimbang2nya
namun seseorang yang tidak beriman walau sejuta ancaman, peringatan, dan seruan tidak akan masuk kedalam hatinya karena hatinya itu sudah di tutup oleh noda yang hitam


Menjaga Jarak antara Wanita dan Laki-Laki agar tidak Berzinah

Padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1.      Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .






Fungsi Syahadatain

Fungsi individual

Syariat syahadatain dilaksanakan secara perorangan , individual fungsinya adalah :

· Menghapuskan dosa masa lalu. Dosa sebelum menjadi muslim

· Membebaskan diri dari segala penjajahan, yaitu: kemerdekaan jiwa, pembentukan pribadi muslim, sumber ketentraman jiwa dan sumber kekuatan jiwa.

Fungsi social

Syahadatain adalah syariat islam, secara social berfungsi sebagai:

  • Transaksi social: bai’at , tijarah
  • Interaksi social: hubungan antara muslim, antara muslim dan non muslim
  • Ikatan social : al-islam sebagai system nilai yang mengikat dalam masyarakat muslim.

Apabila syahadatain dilaksanakan , maka akan menghasilkan umat yang berkeinginan:

· Mewujudkan cita-cita hidup:tegaknya syariat islam.

· Merealisasikan nilai-nilai islam :alquran

· Mewujudkan wilayah hokum: tempat terlaksananya syariat islam

Hubungan rukun iman dan Rukun Islam

Iman berasal dari kata amana artinya percaya atau menerima, lawan katanya adalah kafara artinya menolak atau menutupi. Orang yang percaya atau menerima kebenaran, disebut mukmin. Kumpulan orang yang beriman disebut mukmin. Orang yang menolak atau menutupi dari kebenaran , disebut kafir, kumpulan orang-orang yang menolak kebenaran disebut kafirin.
Dalam alquran kata amana dan kafara ditulis dalam satu ayat yang artinya :
“maka ada diantara mereka yang percaya (menerima) dan pula yang menolak (menutup)” (QS al-baqarah {2}:253)
Menurut alquran , seseorang dikatan mukmin apabila dia beriman kepada allah, melaikatnya , kitabnya , rasulnya, hari akhir dan ketentuannya. Urutan ini kemudian disebut arkanu aliman (rukun iman).
Al-slam adalah system kehidupan yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Perwujudan islam diawali dari pelaksanaan syahadatain, kemudian penegakkan (aqiimu) shalat, pengelolaan (aatu) zakat, pelaksanaan shaum. Urutan atau tahapan ini kemudian disebut arkanu al-islam(rukun islam).
Hubungan rukun iman dan rukun islam tampaknya terpresentsikan dalam hadits yang diriwayatkan ibn majah yaitu: “iman itu dipahami oleh hati, diucapkan oleh lisan , dan dikerjakan oleh perbuatan.(HR ibn majah).
Menurut abu Hanifah(w.80 H), iman yaitu berikrar dengan lisan dan meyakini dengan hati, ikrar semata bukanlah iman. Karena orang munafik juga berikrar tapi tidak yakin.”sedangkan menurut imam syafi’I, iman itu ucapan dan amal , ucapan bagian amal.
Sesuatu yang dibenarkan oleh hati adalah suatu keyakinan yang utuh yaitu yang terdapat pada rukun iman. Sesuatu yang diikrarkan oleh lisan adalah syahadatain. Sesuatu yang dilakukan dengan amal adalah rukun islam yang kedua hingga rukun islam yang kelima.
Jadi, iman itu akan terwujud apabila dilanjutkan dengan melaksanakan rukun islam. Iman tanpa islam tidak bermakna apa-apa. Surga hanya diberikan allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Amal shaleh adalah pelaksanaan syariat islam, yang tersruktur dalam arkan al-islam.

Sabtu, 01 Januari 2011

ISLAM

Sunnah
Dari hadis riwayat abi huroiroh
Berkata abu huroiroh, bersabda rosulullah saw “islam pertama-tama di anggap aneh dan asing, dan bakal kembali kepada anggapan yang sama sungguh berbahagialah orang-orang yang di anggap aneh dan asing . siapakah mereka ya rosulullah ? “itulah dia yang menghidupkan kembali sunnah ku pada kebanyakan manusia yang merusaknya .”

• Sunnah Muhammad langkah awal mempersatukan manusia dari berbagai :
1. suku dan kabilah yaitu mempersaudarakan muhajirin dan ansor
yang dimaksud muhajirin yaitu orang-orang yang masih di luar yaitu musyrik dan kafir sedangkan ansor yaitu orang-orang yang sudah berada dalam jama’h.
2. teknis kerjanya yaitu seperti halnya allah menciptakan manusia dalam
manusia. Maksudnya harus adanya akad (ikatan) dan apabila berada di luar allah dan rosulullah maka akan menciptakan yang haram.

Penjelasan :
Yang di katakanan ikatan yaitu shahadatain
Kaum muslim sepakat bahwa shahadatain adalah syariat islam. Rosulullah dan para sahabat melaksanakannya. Namun masih banyak alasan yang dikemukakan, antara lain bahwa shahadatain adalah masalah keimanan, tidak perlu ada syarat syah dan rukun sebagaimana rukun islam lainnya.
Untuk mengetahui polemik di kalangan kaum muslim tentang pelaksanaan syariat shahadatain , membagi kaum muslim menjadi tiga kelompok yang berbeda pendapat , berdasarkan pemahaman terhadap pelaksanaan syariat islam, yaitu:

A. kelompok kaum muslim “ritualis “
kelompok ini disebut kelompok ritalis, karena mereka memahami islam sebagai kegiatan ritual belaka. Kelompok ini memandang ibadah yang bersifat social , mereka anggap sebagai masalah duniawi.
Firman allah SAW, “tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah “(qs al-dzariat [61]: 56), dipahami beribadah dalam arti pelaksanaan ibadah ritual. Sehingga mereka dalam pelaksanaan syariat islam , mereka terkonsentrasi kepada ibadah ritual , seperti sholat, shaum, dan haji. Sedangkan syariat yang bersifat kemasyarakatan (fiqhsosial ) mereka abaikan.

1. pemahaman tentang perintah dan larangan allah

Untuk mendapat pahala dalam setiap pelaksanaan perintah allah dan menghindari dosa apabila meninggalkan larangannya. Mereka melaksanakan shalat , shaum, membayar zakat dipahami hanya sekedar untuk memenuhi perintah allah , tanpa dipahami tujuan pelaksanaan syariat tersebut. Begitu pula apabila mereka meninggalkan larangan allah, karena mereka takut masuk neraka. Syariat tersebut seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah social dan kehidupan manusia secara keseluruhan .

2. pemahaman tentang syariat islam

bagi orang yang yang telah memahami hakikat , syariah tersebut tak perlu dilaksanakan. Menurut mereka beribadah kepada allah bertingkat-tingkat , yaitu :
syariat , hakikat, ma’rifat akhirnya bersatu dengan allah (wihdatul wujud). Beribadah kepada allah dan batas nya yaitu hingga ada suatu keyakinan. Kalau sudah yakin maka berhentilah melaksanakan syari’at .
maka berpedoman kepada firman allah SWT:
“sembahlah tuhanmu hingga dating kepadamu keyakinan “(QS al-hijir [15]:99)